Dekrit Presiden 1959, mengakhiri perjalanan demokrasi parlementer yang kontitusional. Pancasila sebagai landasannya. Kejadian peralihan kekuasaan 1965-1967 juga mengakhiri Demokrasi Terpimpin, Pancasila sebagai landasannya. Reformasi 1998 kita mulai berpikir adakah yang salah dengan Pancasila, lewat P4 nya. Sebagian menjawab tidak. Dan Pancasila tetap menjadi landasan bernegara. Demokrasi pasca reformasi silahkan kawan-kawan bersetuju atau tidak, saya pikir terbaik, sepanjang saya memulai mengenal politik lewat jurnal Prisma dan celotehan Emha sejak 1989, dan satu lagi lewat Rohis (dong), KIR isu sosial, dan kawan-kawan pecinta alam yang suka bicara masalah budaya, waktu itu Rendra yang paling dikenal.
Berbagai diskusi dengan anak muda generasi sekarang, di kampus dan kedai sinau, Jakarta, Bogor dan Malang pasca reformasi. 2002, betapa sejarah mulai memiliki peran, mengunjungi kembali peristiwa tanpa beban. Oh ya, walau reformasi intel tetap berkeliaran. Sampai sekarang.
Beberapa kawan, aktivis kampus yang muda, generasi Y dan Z sangat rajin membuat wacana tanding, bukan tentang komunisme dan Islam, atau bicara tentang radikalisme, puritanisme versus abangan, tradisionalisme, dan neo serta pos bla bla bla. Mereka membuat wacana tentang bagaimana melihat perdamaian lewat kenyataan kebhinekaan. Dan bagaimana mewujudkan perdamaian tersebut. Bagaimana tentang isu pembagunan seperti kemiskinan,pengangguran, ya tawaran generasi ini adalah mobilitas vertikal lewat pendidikan dan apa yang sekarang dikenal sebagai ekonomii kreatif. Menjauhkan diri dari ketergantungan, membuat sub budaya sendiri, patungan dan kerja kolaboratif dalam membangun alat produksi , berjejaring dalam dan antara komunitas. Banyak hal keren yang dirayakan tanpa diskusi masa lalu dan berkubang. Apakah mereka tidak peduli sejarah. Tidak. Diskusi apapun di kedai sinau rajin ditanggapi serius oleh mereka, tanpa membuat suasana ‘hamil tua’. Revolusi anak muda terhadap sejarah saya pikir dengan membuat sejarah. Sejarah mereka adalah sekarang.
Kembali ke soal landasan, fondasi bernegara, saya pikir di kalangan anak kita, generasi Z dan Alpha, sebagian memiliki anak di generasi Y. Pancasila adalah final. Pancasila adalah legitimasi dan formasi kesadaran. Kemenjadian Indonesia terus berlangsung selama kita punya raison d’etre untuk melanjutkannya antar generasi.
Generasi masa depan, tentu punya imaji sendiri, tentang Pancasila, punya kuil sendiri sebagai benteng pertahanannya. Saya membayangkan anak saya fasih bicara teleportasi, mobil listrik (mereka gak bawel dengan istilah hemat energi), geografi (juga berarti sejarah) yang tidak memusat dan menarik benang merah hanya dari kebesaran kerajaan Hindu-Jawa. Kawan-kawan Nusa Tenggara, Dayak, Sulawesi, Papua dan lain-lainnya punya sejarah mereka sendiri. Tidak bisa dan tidak boleh diputus oleh satu benang merah perekat kekuasaan raja-raja Jawa. Jika ini bisa disebut diskursus pasca reformasi, maka gen Z dan Y, melihat Pancasila dalam berbagai versi, santai saja. Kemampuan reflektif jangan diabaikan di setiap generasi. Para pemimpinnya tetap berjuang demi cita-cita Pancasila dengan jubah Seiya mereka, dan kuil mereka. Masing-masing daerah melanjutkan menjadi becoming Indonesia, menurut saya proses beingnya (celotehan Saya Pancasila dan Saya Indonesia) final dan jangan dipersoalkan ( yang masih mempersoalkan saya lihat dan amati hanya tua bangka mesum -seperti saya – dan yang lebih ke ujung).
Jadi Indonesia itu cerah ceria, blo. Mungkin semakin tua semakin kurang endorfin, selalu cemas jadinya. Waktu kuliah S1 dulu saya selalu dinasehati bahwa apa yang kita perjuangkan belum tentu bisa kita raih real time. Butuh waktu, dan menjadi saksi perubahan sampai detik ini, spirit Pancasila tetap bersemayam dengan berbagai versi dan bahasa visual seperti cerita Saint Seiya yang dimulai 1980-an.
Di rumah, saya membuat kuil renesans sendiri, tempat saya mengapungkan Pancasila.